Gak Ngaruh, Dampak Krisis Evergrande China Bagi Indonesia
KRISIS yang terjadi pada pengembang raksasa di China, Evergrande, disebut tidak akan mempengaruhi sistem perekonomian di Indonesia. Hal itu karena campur tangan pemerintah China yang pada akhirnya ikut mempertahankan perusahaan properti terbesar di China tersebut.
Krisis Evergrande juga berbeda dengan krisis Subprime Mortgage yang terjadi 10 tahun lalu di Amerika Serikat, sebab Subprime Mortgage telah melakukan diversifikasi ke banyak sektor, sehingga sektor yang terhantam krisis menjadi luas, tak hanya terbatas di pembiayaan dan properti saja.
“Yang pertama adalah, kenapa kasus Evergrande ini tidak semasif Subprime Mortgage yang ada di AS, alasannya adalah bahwa kasus Evergrande ini latar belakangnya adalah satu perusahaan yang gagal bayar karena proyeknya terlalu banyak. Beda dengan kasus Subprime Mortgage, di kasus Subprime Mortgage itu ada proses diversifikasi yang menyebabkan dampak dari si Subprime Mortgage ini larinya kemana-mana. Mulai dari sektor asuransinya kena, terus juga lembaga-lembaga penyedia dana pensiun kena, karena dia larinya kemana-mana,” demikian disampaikan Chief Economist PT Sarana Multigriya FInansial (Persero) / SMF, Martin Daniel Siyaranamual kepada Fin.co.id, dikutip Selasa (30/11).
Martin mengungkapkan, perubahan sikap pemerintah China dalam memandang krisis Evergrande telah membuat sentimen terhadap risiko tersebut berkurang. “Itu yang menyebabkan mengapa saya melihat Evergrande itu tidak terlalu menakutkan. Bahwa benar kita harus hati-hati terhadap krisis Evergrande itu benar, tapi kalau kita khawatir berlebihan itu kurang tepat menurut saya,” tuturnya.
Martin mengatakan, masyarakat harus memahami bagaimana kemungkinan krisis Evergrande mempengaruhi perekonomian Indonesia. Dikatakan olehnya bahwa Evergrande memang merupakan perusahaan properti terbesar di China. Adapun porsi sektor properti di dalam pembentukan PDB CHina sangat besar, yaitu mencapai 30 persen. Artinya sektor properti China jauh lebih besar ketimbang Indonesia yang hanya 2 persen berkontribusi terhadap PDB.
“Mari kita asumsikan, katakanlah Evergrande itu menguasai pangsa pasar properti China sampai 50 persen, artinya kalau misalnya Evergrande itu turun, dampaknya terhadap sektor properti mungkin sekitar 30 persen. Dan sektor properti itu 30 persen dari PDB. Artinya dampaknya itu sekitar 30 persen dari 30, sekitaran 10 persen perekonomian China itu akan terkoreksi. Nah, dari 10 persen itu dampaknya, nanti mengalir ke Indonesia via perdagangan internasional Indonesia. Jadi permintaan ekspor di China itu turun,” jelasnya.
Selain itu, kebijakan pemerintah China yang mempertahankan Evergrande itu juga disebut meredam potensi gejolak yang bisa saja timbul. Maka itu, dengan kondisi tersebut bisa dikatakan krisis Evergrande di China tersebut tidak akan berpengaruh besar terhadap situasi perekonomian di Indonesia.
“Menariknya adalah bagaimana pemerintah China merespon, beritanya ini kan berubah 180 derajat, pertama pemerintah China kan gak merespon, biarin aja Evergrande itu kolaps. Tapi at the end of the day, (Evergrande) dilindungi juga. Artinya posisi Evergrande tidak dibiarkan kolaps, pemerintah China bailout, dan dampaknya ke Indonesia relatif hilang,” tuturnya.
Sebagai informasi saja, pada Agustus 2021 lalu, dunia dihebohkan oleh fakta bahwa pengembang raksasa asal China, Evergrande, memiliki utang yang nyaris mencapai 2 triliun yuan (USD 309 miliar) atau setara dengan Rp 4.418 triliun (kurs Rp 14.300/USD) yang tercatat dalam neraca keuangan perusahaan.
Sementara itu kas atau setara kas Evergrande hanya sepersepuluh dari jumlah tersebut, menyebabkan likuiditas perusahaan benar-benar seret dan tidak bisa melunasi pembayaran kepada investor atas surat utang yang diterbitkan. (fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: